[PRE-EVENT] Saif Al-Din Ar Rasyid - Abigail Kolovos

Seluruh staff sedang heboh. yah, apa boleh buat, itu adalah hal yang tidak bisa dihindari. Tidak setahun atau bahkan dua tahun sekali Black Order mengadakan pesta dansa -- di London pula. Abigail..tidak terlalu peduli. Atau mungkin berharap ia tidak terlalu peduli. Kebiasaannya untuk selalu tertutup membuatnya kadang merasa sedikit kesepian, dan tampaknya bergaul bersama dengan beberapa orang akan membuatnya lebih baik.

I lift mine eyes to heaven, from whence cometh my friend.

Dengan langkah yang nyaris tanpa suara, seperti biasa, Abigail berjalan tanpa tujuan di markas Afrika-Timur Tengah. Atau, mungkin dengan tujuan untuk mencari tempat yang sedikit sunyi dan tanpa manusia.

Perlahan ia berjalan menyusuri koridor demi koridor, memperhatikan setiap detil yang bisa ditangkap matanya, sampai..ia tiba di ruang latihan. Ada seseorang yang ia kenal di sana. Seseorang yang sama-sama berbagi minat akan hal-hal yang menurut Abigail menarik, seseorang dengan wajah yang begitu misterius, tapi.,,

Abigail masuk ke ruangan itu. Ah, pria yang ia maksud sedang berlatih rupanya. Abigail tersenyum spontan dan natural, sesuatu yang begitu sulit ia lakukan saat bersama orang-orang lain.

"Salam, Tuan Saif," katanya perlahan.

Falchion di genggaman tangannya yang kekar, sementara itu mata elang milik Saif berjaga. Ia menebas udara kosong di depannya dengan sekuat tenaga, terkadang divariasi dengan gerakan kaki yang lincah serta refleknya yang telah terasah selama bertahun-tahun lamanya. Peluh membasahi dahinya yang kali ini tak ditutupi keffiyeh, tetesan keringat menggenang di dagunya sebelum jatuh membasahi ruang latihan. Dan tepat saat dia hendak menutup sesi latihan bela diri solonya ia mendengar suara yang familiar.

"Salam, Tuan Saif,"

....Abigail Kolosov.

Tak perlu bagi Saif menoleh untuk memastikan pemilik suara tersebut tapi ia tetap menoleh, setidaknya untuk memberitahu wanita tersebut kalau ia mendengar suaranya. Saif menarik nafas panjang seraya menyarungkan falchionnya. Ia sempat ragu berbalik mengingat saat ini ia tak mengenakan selembar kainpun untuk menutupi bagian torsonya. Namun pada akhirnya ia tak begitu mempedulikannya.

"Nona Abigail..." salam tersebut terdengar dengan suara yang masih terengah namun Saif tak lupa untuk memberikan sebuah senyuman tipis pada sang gadis Yunani. "Apa gerangan yang membawa Anda ke tempat barbar seperti ini?" tanyanya dengan sepasang Obdisian yang tertambat lekat pada sosok Abigail. Ya, memang tempat ini biasanya jarang dikunjungi oleh wanita--kecuali yang berjabatan Exorcist--sehingga Saif merasa kehadiran Abigail di sini pastilah bukan untuk hal yang sesederhana seperti berjalan santai.

Ya Tuhan, pria itu menoleh. Ya, peluh membasahi wajahnya yang kecoklatan. Matanya menampilkan kelelahan yang mulai muncul, namun di saat bersamaan masih Tuan Saif yang seperti biasa. Tubuhnya yang kokoh tidak menyembunyikan diri di balik seragam hitam yang biasa ia pakai. Bukan pemandangan yang biasa dilihat Abigail dari exorcist timur tengah tersebut. Latihan terkadang membuat seseorang terlihat lebih..menakutkan dari yang biasanya.

For man looketh on the outward appearance..

Saif menyarungkan Falchion dan menyapanya balik.

"Nona Abigail...Apa gerangan yang membawa Anda ke tempat barbar seperti ini?"

Ah, ya, Abigail lupa. Ia belum pernah bertemu Saif di ruang latihan. Sebenarnya, Abigail telah beberapa kali datang ke 'tempat barbar' tersebut, mengantarkan pesan dari bagian diplomasi ketika tidak ada petugas yang bisa dimintai tolong. Tapi hal itu bukan alasannya untuk datang ke mari hari ini.

"Maaf Tuan Saif, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu latihan Anda. Saya hanya kebetulan lewat, Abigail melangkah masuk ruangan, mendekati sang exorcist. "Saya barusan hanya mencari tempat untk melewatkan waktu, mengingat rekan-rekan saya di kantor sibuk membicarakan tentang pesta dansa yang rencananya akan dilangsungkan di London."

Abigail menatap mata sang exorcist lekat-lekat. Sesuatu yang tadinya sama sekali tidak terpikir melintasi benaknya. Apakah pria misterius ini mungkin...

...pergi ke London? Pikiran ini menyentak hati Abigail. Abigail bahkan tidak berpikir untuk pergi, tapi rasanya ia ingin mananyakan keputusan Saif, sekalipun hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

"Apakah Tuan mungkin juga berencana untuk pergi?"

For man looketh on the outward appearance, but the LORD looketh on the heart.

"Maaf Tuan Saif, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu latihan Anda. Saya hanya kebetulan lewat,"

Saif menatap sang gadis Yunani yang saat ini telah berada di dekatnya dengan senyum jenaka, "Tak perlu meminta maaf, tak ada siapapun yang melarang Anda kesini." ucapnya dengan sorot ramah. Tapi tentu saja yang terlintas di benak Saif tetaplah alasan kenapa gadis muda tersebut repot-repot mampir ke ruang latihan. Apa ia tak sedang sibuk? Mengingat akhir-akhir ini ia juga mendengar suatu kabar...

"Saya barusan hanya mencari tempat untuk melewatkan waktu, mengingat rekan-rekan saya di kantor sibuk membicarakan tentang pesta dansa yang rencananya akan dilangsungkan di London."

Kabar itu.

"Apakah Tuan mungkin juga berencana untuk pergi?"

Pertanyaan gadis belia yang saat ini menatap tepat di wajahnya membuat Saif terdiam untuk beberapa saat. Ia memang mendengar dan membaca pengumuman yang terkadang disebarkan secara sembrono tapi tak pernah terpikir olehnya pergi jauh ke negeri orang seperti itu. Ditambah acara pesta dan pergaulan semacam itu, pesta dan pergaulan dengan cara Eropa yang tak ia pahami. Dan mungkin saja ia terlalu 'liar' untuk hal-hal yang begitu beradab semacam itu mengingat tempat ia tumbuh dulunya adalah tempat dimana hanya ada pasir sepanjang mata memandang.

"Saya tak tahu Nona Abigail," ya ia memang pria yang jujur "bagaimana dengan Anda?" Saif bertanya balik pada gadis berambut coklat tersebut.

Abigail tersenyum mendengar perkataan Saif. Rasanya seperti mendengar suara seseorang. Tunggu! Bukankah cara bicara orang ini mirip dengan exorcist yang dulu pernah dikenalnya?

Bukannya menjawab, Saif malah bertanya balik pada Abigail. Abigail sungguh tidak mengerti. Padahal dalam pandangan Abigail, mungkin pria ini akan bersemangat untuk menemui pria kelas atas di London, yang mungkin punya sifat dan kharisma yang mirip. Siapa tahu ada orang semacam itu di sana. Lagipula....

Mungkin itu hanya karena Abigail tidak yakin apakah ia akan ikut atau tidak. Pergi ke luar negeri dengan orang-orang yang belum benar-benar ia kenal sama sekali tidak akan menarik. Selain itu, bukankah ia masih punya satu masalah lagi?

"Sebenarnya, saya ingin pergi, biarpun hanya untuk mengusir kebosanan," kata wanita Yunani itu perlahan. "Lagipula, bukankah Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia itu tidak baik kalau terus-menerus sendirian?"

'The devil can cite the Scripture for his own purpose,' kata Shakespeare. Jika Iblis saja bisa, kenapa Abigail tidak?

Abigail diam sejenak. Apakah perlu baginya untuk menceritakan unek-unek semacam ini pada Saif? Apakah ia tidak akan menganggapnya anak kecil yang terlalu banyak bicara?

"Hanya saja..," Abigail akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kalimatnya. "Rasanya tidak enak kalau pergi tidak ditemani siapa-siapa. Selain itu, bukankah seseorang butuh pasangan jika akan pergi ke pesta dansa?"

Terucap sudah. Terucap sudah semua unek-uneknya. Yah, setidaknya jika ia toh tidak jadi pergi, ada orang yang tahu alasan sebenarnya.

Selanjutnya Saif mendengarkan gadis itu untuk berbicara, Abigail Kolovos layaknya gadis seumurnya. Sangat bersemangat namun cerdas. Hal itulah yang membuat Saif tak berkeberatan sama sekali untuk meluangkan waktunya bersama Abigail. Dari percakapannya pun Saif mendapat impresi kalau Abigail benar-benar ingin mengikuti acara tersebut. Yah, hal yang wajar bukan?

"Hanya saja..rasanya tidak enak kalau pergi tidak ditemani siapa-siapa. Selain itu, bukankah seseorang butuh pasangan jika akan pergi ke pesta dansa?"

Mendengar hal tersebut alis tegas milik pria keturunan Arab Saudi itu meninggi, sebelum akhirnya pelan-pelan mengendur dan senyuman terlihat dari bibirnya. "Jadi Anda mencari seseorang untuk pergi kesana, Nona Abigail?" ia menatap Abigail, sedikit kepuasan terpancar darinya ketika mengetahui alasan Abigail menemuinya. Ya apalagi kecuali untuk...

"Mungkin saya bisa mencarikan teman dansa untuk Anda?"

Diam sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, kali ini lengkap dengan sebuah senyuman jenaka. Suara deheman lolos dari Saif. "Sebenarnya ia tak begitu menyukai acara seperti itu, tapi kalau bersama anda ia tak akan segan untuk menemani." Sinar mata gelap milik Saif memancarkan kesan ramah dan bersahabat pada gadis tersebut.

"Bagaimana... Abigail?"

Ia menyebut nama sang gadis tanpa embel-embel lain yang biasa menyertainya.

Sebenarnya tidak ada orang ketiga sama sekali di sini, yang dimaksud Saif tentu saja dirinya. Tapi iamemutuskan untuk bertutur demikian. Ingin rasanya ia melihat reaksi gadis Yunani itu terlebih dahulu. Lagipula dia bukan pria yang biasa mengajak gadis lain dengan penuh percaya diri seraya memberikan gombalan maut.

"Jadi Anda mencari seseorang untuk pergi kesana, Nona Abigail?"

Tembakan langsung. Kena sasaran. TIdak meleset se-inci pun. Abigail mengangguk ragu. Anggukan yang sangat perlahan, sangat tidak kentara. Tapi mungkin pria itu bisa melihatnya. Kalau tidak, mana mungkin ia mengatakan..

"Mungkin saya bisa mencarikan teman dansa untuk Anda?"

O God My Saviour. Bukannya Abigail berkeberatan untuk dicarikan pasangan, hanya saja.. Bagaimana seandainya pasangannya adalah seorang pria yang tidak baik? Bukankah Abigail pernah mendengar tentang seorang pria yang punya reputasi kurang baik di cabangnya, terutama kalau menyangkut masalah wanita? Bagaimana jika pria yang dimaksud Saif adalah seseorang yang sangat cerewet, atau tidak ber-Tuhan? Bagaimana jika...

"Sebenarnya ia tak begitu menyukai acara seperti itu, tapi kalau bersama anda ia tak akan segan untuk menemani."

Raut wajah khawatir Abigail berubah menjadi raut wajah terkejut.

"Anda tidak...salah..Tuan Saif?" tanya Abigail terbata-bata.

"Bagaimana... Abigail?"

Bagaimana? Bagaimana? Mau jawab bagaimana aku? Pria berkulit kecoklatan itu memanggilnya dengan nama depannya pula. Hanya menambah kebingungan dirinya. Abigail sejenak ragu memandang pria berusia 8 tahun lebih tua dari dirinya itu. Tapi..mungkin hanya Saif-lah satu-satunya teman dekat yang ia punya di cabang ini. Jadi..

"Saya..saya senang sekali Tuan Saif. Tentu saya mau. Terima kasih atas ajakannya," jawab Abigail sambil mengangguk.

Apakah yang akan terjadi nanti? Abigail sama sekali tidak tahu. Tapi, bukankah karena tidak tahu itulah hidup jadi penuh kejutan?